1519530-tukangsayurmotorsport780x390

Pedagang sayur kerombong di magelang berkeliling dengan motor sport hasil dari dia menabung selama enam tahun. foto Kompas.com/IKA FITRIANA

sambak.desa.id – Tak banyak orang disekitarku yang bisa menjadi pedagang, penjual yang baik, termasuk diriku pun demikian. Bukan lantaran tak punya modal. Ini lebih kepada mental.

Pernah ada kawan datang dengan masalah ekonomi membelitnya. Diantaranya soal gaji kerja dia sebagai karyawan yang saban bulan ludes untuk nyicil motor. Dengan penuh semangat ia bilang mau mencoba memasarkan produk.

Pagi buta ia datang ke rumah pake motor berkerombong. Pikirku, dia pasti bermental baja. tak banyak kawan muda berani bermotor dengan keranjang dijok belakang. Kebanyakan mereka malu.

tapi belum siang betul dia sudah balik ke rumahku. Kata dia, “Wah aku menyerah mas. nggak ada satupun toko yang mau beli”.

“Lha emang berapa toko yang kamu tawari?”

“Tiga mas…”.

Aku tak berkomentar banyak setelahnya. Hanya berpikir kenapa dia begitu mudahnya menyerah. Padahal ia sedang terbelit soal ekonomi.

Pernah pula ada kawan datang ke rumah dengan maksud serupa di atas. Aku jelaskan panjang lebar. termasuk hal teknis mengenai kerombong motor untuk memudahkan distribusi barang selama belum punya mobil.

Kemudian dia bilang hendak menyiapkan dulu perlengkapan-perlengkapan yang menunjang pemasaran.

lain hari aku kontak dia, tanya bagaimana kelanjutannya.

“Begini mas, aku itu sebenarnya ingin sekali ikut masarin produk. Tapi yang soal kerombong itu…wah aku kok ndak mental ya. Lha nganu e mas, baru tanya-tanya harga kerombong di toko aja aku sudah malu e mas…”.

Tapi aku juga punya kawan yang sebaliknya. Masih muda, punya mobil, punya rumah di kawasan elit, tapi tak pernah bermasalah dengan kerombong apalagi dengan penolakan calon pembeli. Saban hari ia keliling toko naik motor membawa tumpukan kardus berisi produk yang hendak ia jual.

Soal tawarannya ditolak toko, sudah biasa. “Ada ribuan toko, masak ndak ada satupun yang mau” kata dia. Dan benar, ternyata lebih banyak yang mau daripada yang nolak tawaran dia.

Kawanku yang jauh di Kalimantan juga mengisahkan awal mula ia terjun menjadi pemasar. Salah satu pemilik toko yang kebetulan kenal dengan dia terheran-heran. Sebab, dia tahu kawanku ini termasuk keluarga terpandang di lingkungannya.

“Kok Mbak mau sih kayak gini (nitip jual produk ke toko-toko)? Nggak malu mbak?”

“Lah, malu kenapa Pak? Anak saya kuliah, butuh biaya banyak, jadi harus cari tambah penghasilan” jawab dia.

Bagi beberapa orang gengsi rupanya teramat penting, hingga lebih memilih berkubang dengan soal ekonomi ketimbang harus wara-wiri jadi sales. Sementara bagi beberapa orang lainnya, gengsi hanyalah pemberat langkah. Ibarat hendak naik gunung, sudah membawa bekal banyak juga berat tapi sesampai di puncak tak banyak bekal yang kita habiskan. Gengsi juga demikian, sudah bikin capek, bikin beban hidup tambah berat, tapi ternyata ia tak berguna. ndak ada manfaatnya babar blas.

Bagi yang bermasalah dengan gengsi ada baiknya kita belajar kepada Desi, pelajar SMKN 2 Jetis Jogja. Ia pulang pergi sekolah naik sepeda dengan keranjang berisi kerupuk selondok untuk dijual. Atau kepada kepada Rizal pelajar MAN Tasikmalaya. Saban hari ia berjualan gorengan di sekolahnya. Dan ia adalah juga perahih juara 2 olimpiade fisika tingkat nasional.

jika kedua contoh itu terlalu kecil, ini ada orang besar, orang kesayangan Nabi. Ialah Khalifah Umar bin Khattab, yang karena penampilan sederhananya ia dikira kuli panggul. Hingga ada seorang yang memintanya membawa barang dagangan. Umar bukan menolak lalu mengaku sejatinya dirinya. Ia justru mengiyakan, dan membawa barang tersebut hingga tempat tujuan.

(Ditulis oleh Amron Muhzawawi, seorang wirausahawan muda asal Desa sambak, Direktur BUMDes Kartadesa)