sambak.desa.id – Jika menghina adalah sama dengan menciptakan musuh maka saat ini kita sedang manyaksikan ada ribuan bahkan jutaan orang sedang menabur bibit peperangan.
Di media sosial (medsos), orang gampang mengatai yang berbeda pendapat sebagai tolol, pekok, goblok, idiot dan seterusnya. Di medsos pula mereka saling serang, saling hantam, saling menggoblok-goblokkan satu sama lain.
Tapi, yang menarik tentu saja adalah fakta bahwa kedua belah pihak ini sama-sama mengaku sebagai penjaga toleransi. Sama-sama ‘Aku Pancasila’. Sama-sama mengaku paling beriman dan bertaqwa di seluruh jagat Indonesia Raya. Dan satu lagi, sama-sama tidak mau disebut sebagai kelompok sumbu pendek.
Jadi siapa nih yang paling pantas untuk menyatakan diri sebagai ‘aku pekok’?
Kalau tidak ada, barangkali kita yang awam-awam inilah yang terpantas untuk menggelorakan slogan ‘aku pekok’ itu.
Lha mau bagaimana lagi, negara yang kata kubu sebelah sedang dalam kondisi darurat komunisme, dan kata kubu sebelahnya lagi sedang darurat intoleransi, kok bisa-bisanya masih tenang-tenang saja dan malah memilih untuk netral.
“Diam itu selemah-lemahnya iman”. Mereka kerap mengutip hadist ini.
Baiklah misalnya kebangkitan komunisme itu nyata, saya rasa ia wajar mengingat sampai hari ini kita belum menikmati keadilan ekonomi. Betul ada yang makmur, tapi ia tak merata. Satu yang makmur seribu yang hancur. Kondisi ekonomi yang timpang itu tentu saja menjadi pemicu bagi lahirnya gagasan-gagasan ekonomi alternatif. Dan, kita tahu komunisme memiliki konsep ekonomi yang menawarkan pemerataan. Seperti halnya islam dengan sistem ekonomi yang menentang penumpukan kekayaan pada sedikit orang.
Lalu soal intoleransi, sepertinya perkara ini perlu didudukkan secara proporsional. Sebab jauh lebih banyak orang yang cemas memikirkan besok mau makan apa ketimbang mengurus toleransi. Kita sudah selesai dengan toleransi. Sekeluarga beda agama, banyak. Satu kampung beda-beda agama lebih banyak lagi. Dan semua baik-baik saja. Bagi rakyat kebanyakan yang betul-betul mencemaskan adalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dari makanan sampai pendidikan. Yang sayangnya ini menjadi isu yang kalah seksi dari soal-soal toleransi.
Kembali ke topik di muka, bahkan jika kita
menentang ideologi komunisme misalnya, tentu saja kita juga tak perlu menghina-hinakan para pendukungnya. Ilmu psikologi mengajarkan bahwa tidak ada yang lebih melemahkan mental dan lebih menyuburkan kebencian daripada sebuah hinaan. Dengan lain kata, hinaan adalah pupuk kebencian.
Mereka yang merasa dihina, alih-alih menyadari kesalahannya (jika dia salah) sebaliknya ia akan semakin tergerak untuk menyerang balik penghinanya. Jadi, bagi mereka yang tulus mengusung gerakan-gerakan perbaikan dan perubahan tentu tidak akan pernah menggunakan taktik bullying dalam ikhtiarnya. Kecuali Anda sedang dalam misi mengadu domba.
Kalau bibit-bibit kebencian telah kita sebar di setiap jengkal dinding media sosial maka pada saatnya nanti kita akan menggelar kopdar kebencian (perang). Anda sudah siap?
(Amron Muhzawawi, mantan redaktur Magelang Ekspres. Direktur BUMDes Kartadesa sambak)