sambak.desa.id – Setiap tahun kita diberi kesempatan selama satu bulan penuh untuk berperang habis-habisan melawan kapitalisme. Tapi alih-alih menyerang, kita justru asyik bermesraan dengannya.

Betul bahwa kita menahan lapar dan dahaga dari subuh sampai maghrib. Tapi rupanya itu sekedar fase beristirahat saja. Rehat untuk mengumpulkan energi agar ketika waktu berbuka tiba nanti bisa makan dengan kalap. Dengan porsi gajah. Pantas saja, puasa bukannya kurus malah tambah melar.

Kata ustadz, inti puasa adalah menahan. Maka puasa dimulai dengan tanda imsak. Imsak sendiri artinya tahan. Bukan cuma menahan untuk tidak makan dan minum tapi juga menahan semua alat indera lahir dan batin dari aktivitas yang tidak disukai Allah dan RasulNya.

Dan diantara sekian hal yang tidak disukai Allah dan RasulNya adalah perilaku boros dan berlebih-lebihan.

Sayangnya, apa yang dilarang agama itu justru dititahkan oleh kapitalisme untuk dilaksanakan. Setiap hari kita dibujuk dan dirayu untuk menjadi konsumen yang pinginan. Awalnya Xenia, lalu Inova selanjutnya Pajero Sport yang lampu belakangnya seksi itu. Yang mengilhami satu orang bapak untuk memberi nama anaknya serupa dengan mobil besutan Mitsubishi itu.

Bahwa dalam satu Rukun Warga (RW) hanya Anda yang kaya sementara yang lainnya hidup melarat dengan tagihan kredit motor yang menggelisahkan tiap bulannya, tentu saja itu bukan urusan Anda. Dan Anda tak perlu merasa bersalah olehnya. Sebab telah tersedia sejuta alasan untuk membela Pajero Anda itu. “Ini hak kita atas kerja keras kita”, “kita butuh kenyamanan berkendara”, “kita sudah banyak bersedekah”, dan seterusnya yang akan bermuara pada statement batin, “Kita butuh pengakuan”.

Tolong dipahami, saya tidak sedang melarang membeli Pajero Sport.

Perintah untuk ‘menahan’ di sepanjang Ramadhan kalah gaungnya oleh ayat-ayat kapital. Beli, beli dan beli. Aktivitas belanja ditunaikan sama kalapnya dengan ketika makan. Maka alih-alih anggaran belanja terpangkas, pengeluaran sepanjang Ramadhan justru paling tinggi dibanding bulan-bulan lain.

Begitulah, kita mempercayai kitab kapital hampir sama besarnya dengan keyakinan kita kepada kitab suci Alquran. Yang kemudian termanifestasi pada pecahnya kepribadian kita. Menjadi hamba yang taat sekaligus pembangkang. Menjadi rajin beribadah sekaligus rajin memanjakan keinginan-keinginan. Menjadi muslim sosialita.

Maka jika kemudian Anda menjumpai ada para dai dan pendakwah juga para pengusaha muslim mengendarai mobil mewah, di tengah-tengah umat yang terhimpit soal ekonomi ini, Anda tak perlu over lebai meresponnya. Sebab, jalan dakwah mereka terjal, butuh tunggangan yang sporty.

(Judul asli: Ayat-ayat Kapital. Ditulis oleh Amron Muhzawawi, mantan redaktur Magelang Ekspres. Direktur BUMDes Kartadesa sambak)